top of page
  • Writer's pictureKSM Defensia UPN Veteran Yogyakarta

Strategi Cina Dalam Menghadapi Perang Dagang Dengan Amerika Serikat

Updated: Sep 28, 2019

Setelah terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, Trump mulai mengeluarkan beberapa kebijakan. Pada 8 Maret 2018 lalu, Amerika Serikat telah mengumumkan kebijakan tarif impor baja dan alumunium global. Kebijakan tersebut dibuat dengan tujuan untuk melindungi produsen-produsen Amerika Serikat dan merupakan sebuah bentuk kritikal untuk keamanan nasional Amerika Serikat. Donald Trump berulangkali mengecam tentang kebijakan dagang China dan memberikan ancaman berupa hukuman untuk Beijing dengan menaikkan pajak impor menjadi 45%. Donald Trump juga menuding bahwa China memanipulasi nilai mata uangnya sendiri untuk menjatuhkan daya saing produsen Amerika dan juga menyatakan akan menandatangani aturan pengenaan tarif impor baja sebesar 10 persen dan tarif impor alumunium sebesar 25 persen. Negeri Paman Sam mempertimbangkan pemberlakuan tarif bea masuk impor untuk produk-produk yang berasal dari China, mulai dari sepatu, pakaian, hingga barang elektronik seperti gawai.

Selain pemberlakuan tarif impor untuk barang-barang China, pemerintahan Trump juga mempertimbangkan membatasi jumlah investasi China di perusahaan - perusahaan AS. Jika kebijakan ini benar-benar dijalankan dan tak hanya sekadar gertakan, maka perusahaan-perusahaan teknologi asal AS pun bakal kena getahnya. Perusahaan seperti Apple Inc, Amazon.com Inc, Intel Corp dan Dell Inc menjadi beberapa perusahaan teknologi besar yang bakal dirugikan.

Dengan adanya penaikan tarif ini, maka salah satu pasar tertinggi produk China yaitu Amerika Serikat akan mengganggu pemasukan China. Maka dari itu, China menganggap kebijakan ini sebuah bentuk ancaman dan perang dagang antar kedua negara pun terbuka. Kemudian, bagaimanakah respon China terhadap kebijakan tersebut?

Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan rencana pengenaan tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap impor barang asal China senilai $300 miliar mulai 1 September 2019. China melakukan strategi dengan melemahkan yuannya, sehingga walaupun dia kena biaya masuk 10 persen ke Amerika karena dia lemahkan yuan 10 persen harganya kembali sama di AS, terkecuali Trump menaikkan lagi 30 persen. Yuan China melemah 0,27 persen ke posisi 7,0387 per dolar AS. Tak hanya terhadap dolar AS, yuan China juga melemah di hadapan rupiah. Rupiah menguat terhadap yuan China sebesar 0,91 persen ke posisi 2.018 per yuan China. Terjadinya depresiasi terhadap nilai yuan membuat ekspor China menjadi lebih murah, sehingga mampu menutupi sebagian dari beban tarif yang diberlakukan oleh AS.

Pihak China akan memperkuat diri dengan membuka kerjasama dengan dunia luar. Menurut Xiao hal itu merupakan jalan yang fundamental untuk menghadapi gesekan perdagangan. Menurut data terbaru dari otoritas bea cukai Tiongkok, AS adalah mitra dagang terbesar ketiga bagi Tiongkok setelah Uni Eropa dan ASEAN. Volume perdagangan Tiongkok-AS dari Januari hingga Mei 2019 sebesar 1,42 triliun yuan, atau 11,7% dari total volume perdagangan internasional Tiongkok, turun 9,6%.

Walaupun perdagangan dengan AS mengalami penurunan, pada periode yang sama volume perdagangan komoditas Tiongkok justru naik 4,1%. Strategi lainnya yang dilakukan oleh China adalah merelokasi 33 pabrik, sebanyak 22 pabrik direlokasikan ke Vietnam, sisanya di relokasikan ke Kamboja, Malasya dan juga Thailand. Dimana Vietnam menawarkan kemudahan lahan, dimana sewa kantor Grade A dikota Ho chi minh US$ 17/m2/bulan. Vietnam juga memberikan beban pajak yang relatif lebih murah, untuk PPH BADAN sebesar 20% dan untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%. Dengan adanya perdagangan bebas (Free Trade Agreement) sehingga barang-barang yang dijual keluar negeri atau mengeskpor maka tidak akan dikenakan biaya masuk sehingga barangnya dapat bersaing. Hal inilah yang menjadi pertimbangan China mengapa China merelokasikan pabrik ke Vietnam.

Menurut Julian Evans-Pritchard dari Capital Economics, perusahaan AS menghasilkan penjualan domestik sekitar US$ 300 miliar di China, sehingga mereka adalah target potensial. Dia menyoroti perusahaan-perusahaan besar seperti Apple, yang memiliki penjualan dan operasi yang signifikan di sana. Dia mengatakan China dapat mempersulit perusahaan-perusahaan AS dengan memperlambat izin bea cukai untuk impor mereka, menunda atau menolak aplikasi visa, atau menggunakan pemeriksaan kesehatan dan keselamatan sebagai cara untuk menghentikan sementara waktu operasional perusahaan.



289 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page