top of page
Writer's pictureKSM Defensia UPN Veteran Yogyakarta

Press Release Diskusi Mingguan : Nile Dam Dispute Between Sudan, Egypt, and Ethiopia

Updated: Aug 14, 2021

Sungai Nil Afrika merupakan sumber bagi setiap negara riparian (negara yang secara geografis terletak di tepi sebuah sungai tertentu). Sungai Nil menjadi sengketa 3 negara yaitu Ethiopia, Mesir, Sudan karena tidak adanya pembagian yang sah tentang banyaknya hak pengambilan air tersebut. Minimnya konsolidasi politik dan kerjasama regional antar negara riparian membuat tidak adanya pembagian yang adil dan sah. Ethiopia ingin membuat dam untuk menampung air sehingga negara hilir protes karena dapat membuat volume air di hilir menjadi sedikit. Sudah ada beberapa perjanjian namun tetap tidak ada pembagian wilayah sungai yang tetap karena masih ada negara yang dirugikan dan ada negara yang sangat untung.


Tujuan Ethiopia membangun bendungan Grand Ethiopia Renaissance Dam (GERD) yaitu untuk pemenuhan energi listrik sebesar 60.000 megawatt listrik yang nantinya dapat membuat bendungan menjadi penghasil listrik terbesar di Afrika. Ethiopia sebenarnya tidak terlalu bergantung akan air dari Sungai Nil, tetapi Ethiopia lebih pada pemenuhan kebutuhannya untuk penyimpanan air. Hal tersebut yang menjadikan arti penting dibangunnya bendungan di Ethiopia.


Kepentingan Ethiopia dengan dibangunnya bendungan tersebut yaitu untuk meningkatkan perekonomian di negaranya. Hal ini dikarenakan sebagian besar pedesaan di sana tidak terdapat listrik yang tentunya menghambat perekonomian. Selain itu, Ethiopia menganggap pembangunan bendungan akan menguntungkan negara-negara lain sedangkan kenyataannya berdasarkan penelitian tidak demikian. Negara ini akan menjadi eksportir listrik ke negara-negara tetangganya sebagai hasil akhir dari pembangunan bendungan.


Mesir dalam sengketa ini menyatakan keberatan dengan dibangunnya bendungan GERD karena menilai bahwa bendungan akan membatasi pasokan air ke negara-negara di hilir. Mesir juga menganggap ini sebagai ancaman negara mereka karena Sungai Nil merupakan sumber air minum, sebanyak 97% untuk kepentingan irigasi, mengandung kepentingan geografis dan iklim Mesir. Mereka khawatir proyek Ethiopia akan berdampak buruk ke negara mereka. Selain itu, Mesir sangat bergantung terhadap pasokan air Sungai Nil karena curah hujan di Mesir yang sedikit.


Serupa dengan Ethiopia, kepentingan Mesir pada sengketa ini juga merupakan kepentingan ekonomi dimana pada sengketa ini akan membuat mesir mengalami kerugian yang berasal dari sektor pertanian apabila irigasi tidak berfungsi dengan baik akibat dibangunnya bendungan. Dilaporkan bahwa telah ada upaya negosiasi meskipun mengalami kegagalan. Mesir pun terus berupaya dengan Menlu Mesir yang meminta dewan PBB turun tangan untuk menyelesaikan sengketa.


Posisi dari Sudan pada awalnya tidak setuju adanya pembangunan bendungan. Sudan menilai bahwa pembangunan bendungan dapat mengancam nyawa banyak orang. Kekhawatiran kekurangan sumber daya air juga disampaikan Sudan sebagai alasan penolakan pembangunan bendungan dimana populasi sekitar Sungai Nil diperkirakan akan terus meningkat sehingga permintaan air juga akan meningkat ditambah lagi Sudan tidak setuju berdasarkan hak yang dimiliki Sudan berdasarkan perjanjian pada 1929 dan 1959.


Upaya penolakan oleh Sudan dilakukan dengan melakukan pertemuan dimana Menlu Sudan meminta Uni Afrika, PBB, Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk menjadi perantara pada negosiasi bendungan ini. Pada 2012 Sudan akhirnya setuju dengan pembangunan bendungan ini ditandai dengan pertemuan menteri pada Maret 2012 dan sikap Presiden yang mendukung karena dianggap dapat membendung banjir musiman yang terjadi di wilayah Sudan. Menlu Sudan juga mengkritik penolakan Mesir. Akhirnya, pada 2014 Sudan mempromosikan kenetralannya pada sengketa ini.


Terdapat beberapa aksi dan usaha dalam berjalannya konflik ini. Aksi yang dilakukan adalah penolakan Nile Waters Agreement 1929 dan 1959. Usaha yang dilakukan adalah melakukan mediasi internasional untuk negosiasi bendungan. Kerjasama yang dilakukan adalah Nile Basin Cooperative Framework Agreement (Nile Basin CFA). Draft Panel of Expert mulai mengerjakan draft CFA pada tahun 1997. Lalu pada tahun 2001 draft CFA selesai. Tahun 2003 hingga 2005, proses negosiasi oleh komite berlangsung. Namun pada Maret 2005, Addis Ababa gagal mengambil keputusan terakhir dokumen karena terjadi perbedaan pendapat. Pada 22 Mei 2009 Nile-COM memutuskan mengadopsi draft CFA dan mengosongkan pasal yang menjadi perdebatan. Pada 2010 beberapa negara menandatangani draft tersebut, lalu untuk penyelesaiannya diselesaikan April 2013. Pada 13 Juni 2003 Ethiopia menjadi negara pertama yang meratifikasi CFA, lalu diikuti oleh Tanzania meratifikasi pada 26 Maret 2013. CFA sendiri menguraikan hak dan kewajiban atas Sungai Nil secara merata, mewujudkan keharmonisan untuk kelangsungan hidup masa depan dan masa sekarang. Namun hingga saat ini, belum terdapat penyelesaian dan keputusan yang pasti.




21 views0 comments

Σχόλια


bottom of page