top of page

KASUS EKSKALASI LAUT MERAH DAN INTERVENSI ANGKATAN LAUT AS TERHADAP SERANGAN HOUTHI

  • Writer: KSM Defensia UPN Veteran Yogyakarta
    KSM Defensia UPN Veteran Yogyakarta
  • Jul 4
  • 3 min read

Oleh: Elfasa Nisfa Nasabela Saifulloh

Sumber: The Guardian

Eskalasi militer Houthi di Laut Merah pada awal 2024 menandai pergeseran mendasar dalam dinamika keamanan maritim internasional. Serangan terhadap kapal-kapal dagang yang dikaitkan dengan Israel dan sekutunya mencerminkan perluasan konflik Palestina-Israel ke ranah geopolitik maritim global. Antara 17 Oktober 2023 hingga Januari 2024, tercatat 27 serangan dilancarkan oleh Houthi menggunakan rudal balistik, drone, dan UAV, menargetkan kapal-kapal berbendera berbagai negara di jalur Laut Merah yang vital bagi perdagangan internasional. Motif politik Houthi tidak semata sebagai respon atas konflik Gaza, melainkan bagian dari artikulasi ideologis perlawanan terhadap hegemoni Barat, terutama AS dan Israel, sebagaimana direpresentasikan dalam slogan perjuangan kelompok tersebut (Putra, 2024).

Intervensi Amerika Serikat melalui Operasi Prosperity Guardian dan serangan balasan 11 Januari 2024 mengindikasikan bahwa tindakan militer defensif berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB secara eksplisit digunakan untuk melindungi kebebasan navigasi (Putra, 2024). Prinsip self-defense dipraktikkan dalam kerangka hukum internasional saat kebebasan pelayaran di jalur internasional strategis terancam oleh aktor non-negara dengan afiliasi geopolitik yang terstruktur (Estika et al., 2024).


Kerusakan terhadap jalur perdagangan utama yang melalui Laut Merah, khususnya Suez Canal dan Selat Bab el-Mandeb, berdampak langsung pada pola lalu lintas maritim global. Analisis terhadap 683 proyektil yang ditembakkan Houthi sejak Oktober 2023 menunjukkan lonjakan serangan terhadap target maritim AS dan Israel, dengan intensifikasi serangan pada 16 Maret 2025 ketika Houthi meluncurkan 12 proyektil ke kelompok kapal induk USS Harry S. Truman (Cicurel, 2025). Penurunan aktivitas di Suez Canal mencapai 62% pada Februari 2024, sedangkan lalu lintas di Tanjung Harapan meningkat hingga 74%. Dampak ekonominya mencakup kenaikan premi asuransi kapal dan biaya logistik global, serta meningkatkan biaya operasional armada akibat tambahan bahan bakar dan waktu pelayaran (Rodriguez-Diaz et al., 2024). Kondisi ini menunjukkan bahwa gangguan terhadap jalur maritim strategis mengancam ketahanan energi global, terutama untuk LNG dan minyak mentah, sehingga mempertahankan pembentukan koalisi multinasional demi menjamin freedom of navigation yang dilindungi UNCLOS 1982 Pasal 87 dan 90.


Amerika Serikat memanfaatkan prinsip collective self-defense dalam membenarkan serangan terhadap instalasi militer Houthi, terutama setelah mereka menyerang UAV MQ-9 dan pesawat F-16 AS pada Februari 2024 (Cicurel, 2025). Keputusan untuk melancarkan 89 serangan udara hanya dalam bulan Maret 2025, mewakili peningkatan 423% dibandingkan seluruh operasi sebelumnya sejak November 2024. Strategi ini mencerminkan pendekatan ofensif berbasis prinsip anticipatory self-defense untuk menetralisasi ancaman sebelum dampaknya meluas. Operasi ini dikaitkan dengan preseden hukum internasional yang mengizinkan negara mempertahankan kepentingannya terhadap serangan yang sedang berlangsung atau mengancam (Estika et al., 2024).

Implikasi strategis dari intervensi ini tidak hanya terbatas pada ranah keamanan, tetapi juga pada tata kelola hukum laut internasional. Serangan Houthi secara nyata melanggar prinsip-prinsip kebebasan pelayaran yang menjadi pilar hukum laut sebagaimana tertuang dalam UNCLOS dan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2317 (2016), yang menegaskan pentingnya stabilitas di jalur maritim strategis (Estika et al., 2024). Respon militer AS dan sekutunya mencerminkan prinsip pengamanan global commons, dengan Laut Merah sebagai salah satu dari sembilan titik cekik maritim global (Rodriguez-Diaz et al., 2024). Dalam tinjauan teoritik, pendekatan maritime domain awareness dan forward presence menjadi bagian dari strategi defensif yang dilandasi pada doktrin sea control dalam keamanan internasional (Putra, 2024).


Studi kasus ini membuktikan bahwa kompleksitas konflik Laut Merah berakar pada konvergensi antara politik identitas, kepentingan geopolitik, dan sistem hukum internasional. Koalisi maritim internasional yang dipimpin AS secara de facto mengimplementasikan kebijakan freedom of navigation operations (FONOPs), menegaskan bahwa tindakan represif terhadap kelompok bersenjata yang mengancam jalur pelayaran legal dalam kerangka jus ad bellum dan jus in bello.



Referensi:

Cicurel, A. (2025). Houthi Escalation Projectile Tracker: 3/18/25 Update. Jewish Institute for National Security of America. https://jinsa.org/iran-projectile-tracker/

Estika, F., Almubaroq, H. Z., & Sumarno, A. P. (2024). Red Sea war: How the Houthi onslaught affected the security of the state. East Asian Journal of Multidisciplinary Research, 3(12), 5861–5870. https://doi.org/10.55927/eajmr.v3i12.12608

Putra, R. H. (2024). Aksi militer Houthi di Laut Merah: Proyeksi kekuatan politik dan pembelajaran bagi pertahanan laut Nusantara. Jurnal Maritim Indonesia, 12(2), 1–12. https://doi.org/10.52307/jmi.v912.162

Rodriguez-Diaz, E., Alcaide, J. I., & Garcia-Llave, R. (2024). Challenges and security risks in the Red Sea: Impact of Houthi attacks on maritime traffic. Journal of Marine Science and Engineering, 12(1900), 1–18. https://doi.org/10.3390/jmse12111900


 
 
 

Comments


bottom of page