KONTROVERSI PEMBANGUNAN PLTP FLORES: TRANSISI ENERGI ATAU ANCAMAN EKOLOGI?
- KSM Defensia UPN Veteran Yogyakarta
- 2 days ago
- 3 min read
Oleh: Safira Manna Wassalwa

Krisis lingkungan global, terutama perubahan iklim, memaksa seluruh negara untuk bekerja sama dalam mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). Indonesia sendiri menargetkan penggunaan EBT sebesar 23% pada 2025, sebagai respons terhadap krisis lingkungan sekaligus upaya membangun sistem energi yang berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber daya alam terbarukan seperti air, angin, matahari, dan biomassa. Dalam konteks ini, Pulau Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi oleh Kementerian ESDM karena potensi panas bumi yang besar, mencapai 402,5 MegaWatt electric (MWe) dengan cadangan energi 527 MWe. Pemanfaatan panas bumi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) diharapkan mampu meningkatkan rasio elektrifikasi Flores hingga 100% dan mendukung sektor pariwisata yang sangat membutuhkan pasokan listrik stabil. Dalam penggunaannya, energi panas bumi lebih ramah lingkungan dengan emisi karbon rendah antara 50-80 gram per kWh. Selain itu, pilihan pengembangan PLTP juga dinilai sebagai solusi didasarkan pada evaluasi terhadap sumber EBT lain seperti Pembangkit Listrik Tenaga Hidro (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dinilai kurang cocok untuk kondisi Flores yang panas, kering, dan memerlukan lahan luas.
Di balik narasi "solusi energi bersih", pembangunan proyek PLTP di Flores justru memunculkan resistensi dan memantik gelombang penolakan sosial dari masyarakat adat serta tokoh-tokoh gereja. Mereka menilai keputusan pemerintah tidak melibatkan masyarakat setempat dan mengabaikan potensi kerusakan lingkungan serta kelestarian tanah adat mereka. Di Poco Leok, misalnya, ekspansi pengeboran besar-besaran oleh PT PLN tanpa konsultasi dengan warga sekitar menimbulkan kekhawatiran akan longsor dan banjir di wilayah perbukitan yang rentan bencana. Masyarakat hukum adat Poco Leok mengklaim hak ulayat atas wilayah tersebut berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mengakui keberadaan hak ulayat. Penolakan serupa terjadi di Wae Sano, di mana proyek berlangsung di lahan produktif pertanian dan perkebunan masyarakat adat yang sangat bergantung pada hasil bumi. Mereka menilai aktivitas proyek merusak kesuburan hutan yang selama ini dijaga dan mengganggu sumber air yang vital bagi pertanian mereka. Sementara itu, isu limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) dari pembangunan PLTP di Manggarai turut memunculkan keresahan akan keamanan proyek ini.
Dari sisi ekologis, proyek ini memang menimbulkan dampak serius berupa pencemaran air dan udara. Di Mataloko, misalnya, aktivitas PLTP merusak pertanian kopi dan kakao masyarakat akibat semburan lumpur dan gas panas yang juga merusak lahan sawah, kebun, dan rumah warga. Risiko seismik seperti longsor dan retakan tanah juga muncul di Ngada. Penggunaan air dalam jumlah besar sebagai pendingin yang menjadi bagian integral dari sistem PLTP tidak sejalan dengan kondisi Flores yang kerap mengalami kekeringan. Dengan kata lain, proyek yang diklaim sebagai bentuk transisi energi justru menyimpan paradoks ekologis, yakni memperparah ancaman terhadap alam dan mata pencaharian masyarakat adat yang bergantung pada kelestarian lingkungan. Ironisnya, hingga saat ini pemanfaatan energi panas bumi di Flores baru mencapai 18 MWe, mencukupi hanya sekitar 25% kebutuhan listrik NTT, sementara sisanya masih ditopang oleh bahan bakar fosil yang menyedot subsidi APBN hingga 790 miliar rupiah per tahun. Ketidakpercayaan masyarakat diperparah oleh praktik manipulatif dalam pelaksanaan proyek. Di antaranya, pencatutan nama uskup sebagai bentuk legitimasi, serta janji elektrifikasi desa yang hingga kini tak kunjung terealisasi. Banyak warga menilai proyek ini hanya menguntungkan segelintir elit, sementara beban ekologis dan sosial justru ditanggung oleh masyarakat lokal. Maka timbul pertanyaan penting: apakah PLTP ini betul menjadi solusi terbaik untuk keamanan lingkungan atau berpotensi merusak lingkungan?
Jika menilik pengalaman internasional, proyek geothermal memang dapat berhasil apabila ditopang oleh regulasi yang kuat dan kondisi geologis yang mendukung. Islandia misalnya, berhasil menjadikan geothermal sebagai sumber 25% listrik nasional berkat stabilitas geologi dan kebijakan ketat. Di Selandia Baru, PLTP Wairakei menyumbang 15% listrik nasional meski sempat menyebabkan penurunan permukaan tanah. Namun, kegagalan proyek serupa di Swiss yang memicu gempa bumi dan menimbulkan kerugian hingga 9 juta dolar menunjukkan bahwa tanpa mitigasi risiko yang matang, teknologi ini bisa berubah menjadi bencana. Dengan segala kompleksitasnya, pembangunan PLTP di Flores tak lagi sekadar soal pemenuhan kebutuhan energi, tetapi telah menjelma menjadi persoalan yang menyentuh banyak lapisan ekologi, sosial, budaya, hingga politik. Di satu sisi, proyek ini membawa janji transisi energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Namun di sisi lain, suara-suara dari masyarakat adat yang merasa terpinggirkan, serta kerusakan lingkungan yang mulai tampak di berbagai lokasi, menegaskan bahwa pembangunan ini memiliki konsekuensi serius apabila tidak dibenahi dengan regulasi dan mitigasi yang baik. Di tengah proyek yang terus berjalan, masyarakat Flores dihadapkan pada kenyataan pahit: suara mereka kerap diabaikan, tanah mereka dipertaruhkan, dan masa depan mereka ditentukan tanpa benar-benar dilibatkan. Apakah proyek ini merupakan jalan menuju kemandirian energi yang berpihak pada rakyat dan alam? Atau hanya babak baru dari pembangunan yang sekali lagi meminggirkan yang kecil demi kepentingan yang lebih besar?
Comments