Human Cost dari Limbah Fast Fashion: Krisis Kesehatan di Ghana
- KSM Defensia UPN Veteran Yogyakarta

- Oct 18
- 3 min read
Oleh: Annisa Fepy Nabila

Sejak dahulu, pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok dari semua orang, yang bertransformasi menjadi media untuk berekspresi dengan berbagai macam model, gaya, warna, dan pola. Pakaian juga menjadi simbol dari status sosial dan identitas dari seseorang. Sebelum memasuki masa Revolusi Industri, pakaian dibuat dengan cara tradisional menggunakan tangan dan peralatan seadanya yang membutuhkan waktu produksi yang cukup lama. Memasuki era globalisasi ditandai dengan maraknya perkembangan teknologi dan pertukaran informasi yang mempercepat siklus tren. Hal ini memicu timbulnya model bisnis Fast Fashion, di mana brand-brand besar meluncurkan pakaian baru hingga 36 koleksi tiap tahunnya.
Siklus konsumsi dan pembuangan yang tidak berkelanjutan ini menciptakan dampak serius. Pakaian kian menumpuk hingga lemari penuh, hal ini dapat diatasi dengan menjual pakaian lama ke toko pakaian bekas (thrifting) atau untuk tujuan mulia, yakni mendonasikannya ke tempat pembuangan amal. Begitu kira-kiranya pikiran dari orang-orang di belahan bumi utara. Namun, kenyataannya adalah pakaian-pakaian yang telah tidak digunakan kemudian diekspor ke luar negeri menuju ke belahan bumi selatan di mana dijual dengan harga yang terjangkau. Tanpa disadari, proses ini merupakan praktik dari pembuangan limbah tekstil dari negara maju ke negara berkembang.
Ghana, khususnya Pasar Kantamanto di Accra, telah menjadi episentrum dari krisis ini. Ghana, sebagai importir pakaian bekas terbesar di dunia, mengimpor sebanyak 15 juta pakaian bekas tiap minggunya (Greenpeace Africa, 2024). Kondisi dari pakaian bekas yang masuk tiap harinya tak dapat dikatakan layak sepenuhnya. Sekitar 40% pakaian tersebut terdapat robek, noda, dan tentunya tak bersih, tidak diketahui apa saja kandungan atau penyakit yang dibawa dari benua lain tersebut. “Sampah” fast fashion tersebut menjulang tinggi hingga melebihi tinggi dari gedung dua lantai berdasarkan citra histeris Google Earth, sebuah visualisasi nyata dari kolonialisme limbah yang menciptakan ancaman bagi Human Security di Ghana. Human Cost dari fenomena ini adalah krisis kemanusiaan yang berpusat pada Health Security masyarakat lokal. Penumpukan dari tsunaminya “pakaian orang kulit mati” menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat yang tinggal di daerah tempat pembuangan pakaian bekas ini.
Ancaman Utama terhadap Keamanan Kesehatan
Pertama, Krisis Pernapasan Akibat Toksisitas Udara. Limbah yang tidak laku dan tidak dapat diurai di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) seringkali dibakar secara terbuka sebagai solusi darurat. Pembakaran tekstil sintetik melepaskan asap beracun yang kaya akan senyawa karsinogenik (pemicu kanker) seperti Poly Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan Benzena (Greenpeace, 2024). Paparan racun ini menyebabkan penyakit pernapasan kronis (seperti asma dan PPOK) dan kanker bagi para pekerja limbah dan penduduk yang tinggal berdekatan.
Kedua, Penyakit Menular Akibat Sanitasi Buruk. Tumpukan pakaian bekas yang besar dan padat menyumbat sistem drainase dan saluran air di Accra. Sumbatan ini memperburuk banjir, menciptakan genangan air kotor yang terpolusi, dan menjadi sarang ideal bagi nyamuk (penyebar malaria) dan patogen. Akibatnya, komunitas rentan terhadap peningkatan kasus penyakit bawaan air seperti kolera dan tifus, menyoroti kegagalan sanitasi dasar sebagai dampak langsung dari polusi tekstil.
Ketiga, Kontaminasi Kimia Jangka Panjang. Pakaian-pakaian tersebut mengandung bahan-bahan kimia yang berbahaya yang menghasilkan emisi gas rumah kaca, seperti metana, yang berkontribusi pada perubahan iklim. Gas dari penumpukan sampah ini menyumbang sekitar 5% dari emisi gas rumah kaca dari total emisi negara-negara berkembang. Selain itu, air lindi (leachate) dari limbah yang membusuk membawa residu pewarna dan bahan kimia beracun yang mencemari air tanah. Kontaminasi ini mengancam Keamanan Pangan dan Air, karena zat-zat berbahaya tersebut dapat masuk ke sumber air minum masyarakat, menambah risiko penyakit jangka panjang.
Pada akhirnya, Ghana dipaksa menanggung Human Cost yang tidak adil. Krisis limbah fast fashion bukanlah sekadar masalah lingkungan yang harus dibayar mahal oleh alam, melainkan ancaman langsung terhadap martabat, kesehatan, dan kehidupan komunitas yang paling rentan, menjadikannya isu Human Security yang mendesak untuk diatasi.
Referensi:
Ahiable, K. & Triki, C. (2021). Tackling Ghana’s Textile-Waste Challenge. Institute.global; Tony Blair Institute. https://institute.global/insights/climate-and-energy/tackling-ghanas-textile-waste-challenge
Greenpeace Africa. (2024). Fast Fashion, Slow Poison: New Report Exposes Toxic Impact of Global Textile Waste in Ghana. https://www.greenpeace.org/static/planet4-africa-stateless/2024/09/925601ff-fastfashionslowpoison_reportbygreenpeace.pdf
Kilbridge, Rowan. (2025). From Trend to Trash: Unraveling the Waste Issue in Fast Fashion and its Impact on Ghana. Student Theses 2015-Present. 191. https://research.library.fordham.edu/environ_2015/191
Mensah, J. (2023). The Global South as a Wasteland for Global North’s Fast Fashion: Ghana in Focus. American Journal of Biological and Environmental Statistics. https://doi.org/10.11648/j.ajbes.20230903.12
Priya, A. (2022). Impact of Second-Hand Clothing Waste in Ghana. International Journal of Law Management & Humanities, Vol. 5 No (2). https://doi.org/10.10000/IJLMH.112981








Comments