Oleh : Alfina Nur Syahrani
Benua Afrika merupakan salah satu wilayah di dunia yang kerap kali mengalami berbagai konflik. Konflik yang terjadi juga memakan banyak korban, baik luka bahkan hingga meninggal dunia. Salah satu konflik yang terjadi di Benua Afrika adalah perang saudara yang terjadi di Republik Afrika Tengah. Konflik internal yang terjadi di Republik Afrika Tengah tersebut telah berlangsung cukup lama dan meninggalkan banyak sisi buruk. Konflik yang terjadi di Republik Afrika Tengah ini terjadi sejak 10 Desember 2012, tepatnya di Kota Ndele. Pertempuran melibatkan kelompok bersenjata dan pasukan keamanan militer Republik Afrika Tengah. Peristiwa pemberontakan ini menyebabkan banyak masyarakat melarikan diri untuk mencari tempat berlindung. Nama kelompok bersenjata yang melakukan pemberontakan tersebut adalah Seleka. Kelompok bersenjata ini beranggotakan mayoritas muslim dan dipimpin oleh Michel Djotodia. Kelompok ini menuding pemerintah melanggar perjanjian perdamaian yang dilakukan pada tahun 2007.
Tak lama setelah masuknya Djotodia dalam jabatan pemerintahan, muncul kelompok Anti-Balaka. Kelompok Anti Balaka merupakan kelompok bersenjata yang mayoritas berisi penganut Kristen dan beberapa kepercayaan lokal. Setelah kudeta, banyak anggota bekas tentara pemerintah bergabung dengan Anti-Balaka. Berdasarkan Human Rights Watch (HRW), Anti-Balaka menjadi semakin terorganisir dan menunjukkan niat untuk memusnahkan penduduk muslim dari Republik Afrika Tengah. Kedua belah pihak telah melakukan berbagai tindakan kekerasan keji. Berdasarkan Human Right Watch, pada September 2013, milisi Kristen menyerang kelompok Muslim, memotong leher anak-anak dan memaksa orang dewasa menyaksikan peristiwa keji tersebut. HRW dan Amnesty International juga telah mendokumentasikan kekejaman Anti-Balaka, termasuk lima pembantaian di barat Republik Afrika Tengah pada Januari 2014, dimana setidaknya 180 warga sipil Muslim terbunuh, serta pembunuhan lainnya di Bangui. Sedangkan pada kubu Ex-Seleka, berdasarkan Amnesty Internasional, pada Desember 2013, pasukan ini membunuh setidaknya 1000 orang di Bangui sebagai balasan atas tindakan Anti-Balaka yang membunuh 60 pria muslim. Adanya pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa konflik ini berkaitan juga dengan tindakan genosida.
Sejak pecahnya konflik baru pada tahun 2013 telah menimbulkan banyak kerugian, khususnya terkait kehidupan masyarakat Republik Afrika Tengah. Diperkirakan konflik di Republik Afrika Tengah telah menyebabkan ribuan korban luka dan orang tewas, serta jutaan warga telah mengungsi, dimana sebagian besar diantaranya melarikan diri ke Kamerun dan Republik Demokratik Kongo. Salah satu pihak yang paling berdampak adalah anak-anak. Diperkirakan dari 738.000 pengungsi, setengah dari mereka adalah anak-anak. Ini adalah tingkat pengungsian anak tertinggi di negara ini sejak 2014. Menurut perkiraan terakhir, setidaknya 168.000 anak tidak punya pilihan selain meninggalkan rumah mereka karena kekerasan yang meluas menjelang dan setelah pemilihan umum Desember tahun lalu. Sekitar 70.000 dari mereka belum dapat kembali. Perekrutan dan penggunaan anak oleh angkatan bersenjata dan kelompok merupakan pelanggaran hak anak yang paling sering terjadi di Republik Afrika Tengah. Terhitung 584 dari total 792 kasus pelanggaran berat yang dikonfirmasi dan didokumentasikan pada tahun 2020, merupakan perekrutan dan penggunaan anak dalam pertempuran. UNICEF telah menerima laporan yang yang menunjukkan bahwa perekrutan dan penggunaan anak terus berlanjut selama empat bulan pertama tahun 2021.
Hingga tahun 2021, Republik Afrika Tengah masih berjuang melawan konflik dalam negerinya. Banyak dampak buruk konflik ini masih dirasakan oleh masyarakatnya. Diperkirakan sebesar 47% atau hampir setengah dari populasi menderita kerawanan pangan akut yang tinggi di Republik Afrika Tengah akibat dampak konflik yang sedang berlangsung dan Covid-19. Ini berarti lebih dari 2,2 juta orang yang kebanyakan tinggal di daerah pedesaan harus menghadapi tingkat kerawanan pangan akut yang parah antara April dan Agustus. Dari hal ini menjelaskan bahwa konflik belum sepenuhnya selesai, telah memunculkan permasalahan kemanusiaan yang lain. Perlunya upaya konkrit dari berbagai pihak untuk meredakan konflik serta merumuskan solusi terbaik bagi setiap pihak merupakan hal yang harus dikedepankan saat ini guna mengatasi dan mencegah meluasnya dampak dari konflik di Republik Afrika Tengah khususnya terkait permasalahan kemanusiaan.
Referensi :
Council on Foreign Relations, 2021. “Violence in the Central African Republic”, diakses melalui https://www.cfr.org/global-conflict-tracker/conflict/violence-central-african-republic pada 22 Mei 2021.
Conciliation Resources, 2020. “Addressing conflict in the Central African Republic”, diakses melalui https://www.c-r.org/our-work-in-action/addressing-conflict-central-african- republic pada 22 Mei 2021.
Firman, Tony, 2017. “Darah Terus Mengalir di Afrika Tengah”, diakses melalui https://tirto.id/darah-terus-mengalir-di-afrika-tengah-cuxP pada 22 Mei 2021.
FNB News, 2021. “Nearly half population suffers from food insecurity in Central African Republic”, diakses melalui http://www.fnbnews.com/Top-News/nearly-half-of- population-suffers-from-food-insecurity-in-central-african-republic-64111 pada 25 Mei 2021.
Nadira, Fergi dan Nur Aini, 2019. “Pemerintah Afrika Tengah Sepakat Berdamai dengan Pemberontak”, diakses melalui https://www.republika.co.id/berita/pmbxd8382/pemerintah-afrika-tengah-sepakat- berdamai- dengan-pemberontak pada 22 Mei 2021.
Situs resmi UNICEF, 2021. “Central African Republic : Nearly 370,000 children now internally displaced amidst ongoing violence – highest number since 2014”, diakses melalui https://www.unicef.org/press-releases/central-african-republic-nearly-370000-children- now-internally-displaced-amidst pada 25 Mei 2021.
The New Humanitarian, 2014. “Who are the anti-balaka of CAR?”, diakses melalui https://www.thenewhumanitarian.org/analysis/2014/02/12/who-are-anti-balaka-car pada 22 Mei 2021.
Comments