Krisis Human Security di Myanmar dalam Perspektif SDGs 16
- KSM Defensia UPN Veteran Yogyakarta

- Sep 13
- 3 min read
Oleh: FX. Prayoga
Myanmar adalah negara multietnis dan multireligius di Asia Tenggara, dengan mayoritas etnis Bamar beragama Buddha Theravada dan puluhan kelompok etnis lain seperti Karen, Kachin, Shan, Rakhine, Chin, dan Rohingya. Secara geografis, banyak wilayah perbatasan dihuni kelompok etnis bersenjata yang sejak lama punya tuntutan otonomi. Awalnya tuntutan tersebut sempat dijadikan sebagai salah satu alasan reformasi selama kurang lebih satu dekade, namun reformasinya dirasa kurang matang hingga menyebabkan eskalasi kembali. Pada 1 Februari 2021, militer (Tatmadaw) melakukan kudeta terhadap pemerintahan hasil pemilu. Gelombang protes sipil dan gerakan mogok (CDM) muncul, ditanggapi dengan penangkapan massal, kekerasan, dan pembungkaman media. Konflik yang tadinya terlokalisir di daerah etnis melebar menjadi perang internal berskala nasional hal ini menyebabkan bentrokan di banyak negara bagian, pembakaran permukiman, jutaan orang mengungsi, dan layanan publik mulai dari kesehatan hingga pendidikan terganggu keras.
Peristiwa tersebut sudah dirasa terlalu jauh untuk dianalisis dalam perspektif keamanan negara, namun sudah merujuk pada ranah human security. Konsep human security menurut UNDP (1994) menekankan bahwa keamanan tidak semata-mata diukur dari stabilitas negara, melainkan dari sejauh mana individu terlindungi dari berbagai ancaman seperti kekerasan, kemiskinan, kelaparan, penyakit, hingga diskriminasi. Hal ini juga dimuat dalam konsep pembangunan berkelanjutan yang seringkali dikenal sebagai SDGs. Dalam 17 poin SDGs yang meliputi berbagai bidang yang berbeda, peristiwa ini dapat dianalisis dengan SDGs nomor 16, yaitu Peace, Justice, and Strong Institutions. SDGs 16 menargetkan pengurangan kekerasan, akses terhadap keadilan bagi semua orang, serta penguatan institusi yang akuntabel dan inklusif. Prinsip ini seharusnya menjadi pedoman bagi negara seperti Myanmar dalam mengelola keberagaman dan mencegah konflik. Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan kegagalan dimana terjadi kekerasan negara yang sistematis, lemahnya rule of law, diskriminasi etnis dan agama, serta institusi politik yang dikuasai militer memperparah krisis human security.
Jika dianalisis lebih jauh dalam krisis Myanmar ini melalui kriteria dari SDGs nomor 16, maka peristiwa ini memperlihatkan kegagalan dalam hampir semua dimensi human security. Pertama, keamanan individu dan kelompok yang hancur akibat kekerasan militer terhadap warga sipil. Data PBB menunjukkan ribuan orang tewas, sementara ratusan ribu lainnya harus mengungsi dari rumah mereka. Kampung-kampung dibakar, serangan udara dilakukan di wilayah sipil, dan kelompok minoritas etnis seperti Rohingya, Karen, dan Kachin menjadi sasaran paling rentan. Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan SDGs 16 untuk mengurangi segala bentuk kekerasan (target SDGs 16.1). Kedua, keamanan politik yang tidak terjamin. Kudeta militer menyingkirkan pemerintahan terpilih dan menutup ruang partisipasi masyarakat dalam politik. Aktivis, jurnalis, hingga anggota oposisi ditangkap, disiksa, bahkan dieksekusi. Ini menunjukkan runtuhnya rule of law dan absennya akses terhadap keadilan yang seharusnya dijamin oleh pemerintahan (target SDGs 16.3). Ketiga, keamanan ekonomi dan pangan memburuk drastis. Konflik dan sanksi internasional membuat harga-harga melambung, lapangan kerja hilang, dan jutaan orang jatuh dalam kemiskinan ekstrem. Bagi masyarakat pengungsi, akses terhadap pangan menjadi persoalan sehari-hari. Dan yang terakhir, kesehatan masyarakat juga semakin memburuk. Sistem layanan kesehatan yang sebelumnya lemah semakin runtuh akibat krisis politik dan pandemi COVID-19. Banyak tenaga kesehatan ikut mogok sebagai bentuk perlawanan, sehingga rakyat kecil semakin sulit mengakses layanan dasar.
Jika dilihat dari indikator SDGs 16, Myanmar dapat dikatakan gagal hampir di semua aspek. Rule of law tidak berjalan karena militer tetap kebal hukum dan memonopoli kekuasaan politik maupun ekonomi. Tidak ada mekanisme akuntabilitas yang mampu menindak pelanggaran HAM, baik dalam kasus pengungsian Rohingya maupun kekerasan setelah kudeta. Hal ini menunjukan bahwa Myanmar telah gagal dalam membangun perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat sehingga membuat penderitaan masyarakat yang berkepanjangan dan memperburuk siklus kekerasan dan instabilitas politik.
Referensi:
Amnesty International. “Myanmar: Four Years after Coup, World Must Demand Accountability for Atrocity Crimes.” Amnesty International, 31 Jan. 2025, www.amnesty.org/en/latest/news/2025/01/myanmar-four-years-after-coup-world-must-demand-accountability-for-atrocity-crimes/.
Farge, Emma. “Myanmar Security Forces Involved in Systematic Torture, UN Report Says.” Reuters, 13 Aug. 2025, www.reuters.com/world/asia-pacific/myanmar-security-forces-involved-systematic-torture-un-report-says-2025-08-12/.
Maizland, Lindsay. “Myanmar’s Troubled History: Coups, Military Rule, and Ethnic Conflict.” Council on Foreign Relations, 31 Jan. 2022, www.cfr.org/backgrounder/myanmar-history-coup-military-rule-ethnic-conflict-rohingya.
Myanmar, UN. “Sustainable Development Goal 16: Paix, Justice et Institutions Efficaces.” Sustainable Development Goal 16: Paix, Justice et Institutions Efficaces | Les Nations Unies En Myanmar, 2025, myanmar.un.org/fr/sdgs/16. Accessed 10 Sept. 2025.
United Nations Development Programme (UNDP). “Human Development Report 1994.” Hdr.undp.org, 1 Jan. 1994, hdr.undp.org/content/human-development-report-1994.








Comments