top of page

Dilema Orbit SpaceX Starlink: Eksistensi Konektivitas Global dalam Bayang Ancaman Lingkungan

  • Writer: KSM Defensia UPN Veteran Yogyakarta
    KSM Defensia UPN Veteran Yogyakarta
  • May 21
  • 3 min read



Oleh: Salsabila Rizki Elrica Putri

Eksplorasi luar angkasa yang dulu hanya sebatas imajinasi dalam fiksi ilmiah, kini bertransformasi menjadi kekuatan nyata yang membentuk lanskap dunia. Teknologi bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan instrumen kekuasaan global yang merambah hingga ke batas atmosfer. Di tengah dinamika ini, Starlink yang merupakan proyek ambisius milik SpaceX hadir dengan visi besar menghadirkan konektivitas global. Ribuan satelit dipancarkan ke orbit rendah Bumi untuk menghadirkan internet bahkan ke sudut dunia yang paling terisolasi. Meski terdengar menjanjikan, di balik ambisi konektivitas itu tersembunyi ancaman yang mendasar. Akumulasi satelit di orbit rendah menyimpan potensi ancaman terhadap kelestarian ruang angkasa sebagai wilayah bersama yang menopang lingkungan kehidupan manusia.

Langit, yang dulu lengang dan nyaris tak tersentuh, kini menjadi arena kompetisi baru. Orbit bukan lagi ruang netral, melainkan telah dipadati ribuan objek buatan yang bergerak dalam kecepatan tinggi, membawa potensi tabrakan yang bisa memicu reaksi berantai kehancuran. Ketika satu satelit hancur, serpihannya tak menghilang mereka terus melayang, menjadi ancaman bagi misi antariksa lainnya, menciptakan fenomena yang dikenal sebagai Kessler Syndrome. Jika dibiarkan, ini bisa melumpuhkan jalur komunikasi global, menonaktifkan satelit pemantau cuaca, sistem navigasi, bahkan misi-misi lingkungan yang memantau perubahan iklim dan bencana alam. Maka ancamannya tidak berhenti di luar angkasa tapi justru merambat ke Bumi, menjalar pada sistem sosial, ekonomi, hingga keselamatan manusia.

Pada Januari 2025, kekhawatiran itu menjadi kenyataan. Lebih dari 120 satelit Starlink mengalami reentry ke atmosfer Bumi dan terbakar saat memasuki kembali atmosfer. Meskipun SpaceX menyatakan bahwa satelit-satelit tersebut dirancang untuk terbakar habis tanpa meninggalkan puing, para ilmuwan khawatir bahwa pembakaran ini menghasilkan aluminium oksida, yang berpotensi merusak lapisan ozon. Insiden ini memperburuk akumulasi sampah antariksa dan menegaskan bahwa penguasaan luar angkasa oleh aktor swasta memiliki risiko serius terhadap stabilitas global. Lebih jauh lagi, konstelasi satelit skala besar seperti Starlink memperparah ketimpangan global. Negara-negara yang belum memiliki kapasitas peluncuran harus menerima kenyataan bahwa orbit kini dikendalikan oleh segelintir perusahaan berbasis pada kepentingan profit dan geopolitik. SpaceX bukanlah lembaga internasional yang tunduk pada konsensus global. Dalam konteks ini, akses internet bukan semata fasilitas, tetapi juga instrumen kekuasaan. Kasus di Ukraina dan Iran menunjukkan bagaimana layanan Starlink bisa diaktifkan atau dimatikan sebagai alat tekanan politik.

Fenomena ini bukan sekadar soal teknologi atau inovasi, melainkan suatu cerminan dari relasi kekuasaan yang telah lama membentuk struktur hubungan antarnegara. Di sinilah ruang antariksa mulai bersinggungan dengan isu yang lebih dalam lebih tepatnya keamanan lingkungan global. Jika hutan dan laut adalah ekosistem yang bisa dieksploitasi, orbit pun kini mengalami hal yang sama, diperlakukan sebagai ruang tak bertuan yang boleh di kelola sedemikian rupa, selama masih ada kapasitas dan potensi. Padahal orbit adalah sumber daya terbatas. Sekali rusak, dampaknya akan bertahan selama puluhan bahkan ratusan tahun. Tidak ada mekanisme regenerasi, tidak ada ruang pemulihan. Di sinilah letak kerentanannya, dan sekaligus alasan mengapa orbit harus dilihat sebagai bagian dari lingkungan global yang perlu dijaga, bukan dikendalikan.

Aktor-aktor yang terlibat dalam dinamika ini pun bervariasi. Selain SpaceX, ada pula Amazon dengan proyek Kuiper, China dengan konstelasi Guowang, dan negara-negara seperti Rusia, India, serta Uni Eropa yang mulai merancang satelit-satelit komunikasi mereka sendiri. Tapi yang membedakan adalah skala dan agresivitasnya. Amerika Serikat, dengan keunggulan teknologinya, mendominasi jalur peluncuran dan spektrum frekuensi. Lembaga seperti Federal Communications Commission (FCC) mengeluarkan izin ribuan satelit tanpa konsultasi multilateral. Sementara negara-negara Global South hanya bisa menyaksikan, berharap pada kerja sama yang seringkali timpang dan transaksional. Lembaga-lembaga internasional belum cukup tanggap. Perserikatan Bangsa-Bangsa memang memiliki komite untuk penggunaan damai ruang angkasa (COPUOS), namun mekanisme yang ada bersifat sukarela dan lemah dalam penegakan. Di tengah kekosongan ini, kepentingan ekonomi dan keamanan nasional menjadi poros utama, mengalahkan urgensi keberlanjutan lingkungan. Dan seperti biasa, yang paling rentan terdampak adalah mereka yang paling sedikit memiliki suara.

Dalam era ini, dunia sedang menyaksikan babak baru dalam sejarah kehidupan, di mana langit bertransformasi menjadi sumber daya krusial, namun tidak memperoleh perlindungan yang memadai. Ketika orbit semakin penuh dan penguasaan informasi lebih terpusat, ancaman kehancuran bukan lagi sebuah kemungkinan, dunia tak bisa lagi berdiri sebagai penonton. Orbit bukanlah hak eksklusif negara-negara maju tetapi bagian dari rumah kita bersama. Jika rumah itu rusak, tidak akan ada lagi koneksi yang mampu menyelamatkan kita dari isolasi yang sesungguhnya.


 
 
 

Comments


bottom of page